Dulu awal-awal nyantri saya pernah menggerutu sama Metode ngaji bandongan, bagaimana tidak, sebelumnya dirumah itu ngaji dijelaskan oleh guru dengan gamblang dan tuntas, begitu ngaji bandongan di Lirboyo adanya cuma maknani, penjelasan pun sedikit, sekadar dan seperlunya, tak lebih hanya kiai menerjemahkan dari arab ke jawa, kemudian tiba-tiba wallohu a’lam bisowab. Selesai, mejelis bubar.
Tak pelak saya melongo, menggerutu, tidak memahami isi kitabnya, seolah tidak mendapat apa-apa selain hanya meninggalkan terbuangnya waktu secara sia-sia. Tapi sebagai santri, saya tetap sam’an wathoatan menjalaninya, mana mungkin system bandongan ini salah kalau ternyata ribuan santri secara masif mengikuti ngaji bandongan semua, mulai dari yang Ibtida’ sampai Aliyah, bahkan yang sudah pengajar pun tetap ikut bandongan. Berarti tidak mungkin bandongannya ini salah, kalau begitu bisa dipastikan sayanya yang salah kan.
Cara transmisi ilmu di Lirboyo itu ternyata mayoritas menggunakan metode bandongan, bahkan dikelas sekalipun guru membacakan dan tiba-tiba salah satu murid disuruh untuk mentasawurkan/ menerangkan. Tambah plonga-plongo lah saya. Urusan gudik, kangen rumah dan problem domestic pondok belum selesai, ini malah ketambah dibuat pusing sama bandongan. Duuh, Nasibbbbb. Untung waktu itu belum viral lagu ‘genduk denok santri lulusan pondok’.
Mengahadapi realitas itu tetap saya trabas, tidak nyerah ditengah jalan, ‘sak dermo nglakoni’ paham rapaham pikir keri (dan banyak juga kayaknya yang seperti saya). Keresahan Ngaji bandongan yang saya pikul bertahun-tahun itu, lama kelamaan sirna, saya bisa memahami apa yang dibacakan kiai, oh ternyata begini-ternyata begitu. Ya karena berangkat dari terpaksa, terbiasa pada akhirnya bisa. Ciahhh.
Saya menemui realita, ketika Pondok Lirboyo ini terkenal dibidang bahtsunya dengan segala nalar kritisnya, ternyata berangkat dari Ngaji Bandongan, kok bisa? Yap, ngaji bandongan santri dominan maknani, menggunakan konsentrasi pendegaran maksimal, ditunjang kecepatan tangan menarikan ballpoint diatas kertas kuning, timbul daya kritisnya dimana?
Nah bagi yang maknani kitab dengan sungguh, percikan ilmu itu akan tumbuh, karena Yai cuma membacakan, otomatis santri menjadi bertanya-tanya, misal “Kok dibaca romadhoni, bukan romadhona?” karena Yai tidak menjelaskan dengan gamblang, santri kadung penasaran, akhirya menuntut santri untuk belajar lagi.
Dari situ timbullah ekosistem untuk memahami mendalam teks yang dibacakan Yai kita menyebutnya ‘memurodi dan mentasyawurkan’ sendiri, apalagi ketika maknani, penalaran santri itu cenderung berbeda, maka terjadilah pertengkaran pemikiran yang kemudian pihak madrasah memfasilitasinya dengan diadakan musyawarah/ diskusi setiap mata pelajaran.
Musyawarah ini nyatanya tidak selesai dikelas, dipelataran kamar, lorong-lorong asamara apalagi serambi masjid, pokonya dimanapun tempat asalkan cukup buat naruh kopi dan kitab, pasti dimanfaatkan untuk musyawarah atau diskusi ini. Setelah pertengkaran pikiran dengan argumentasinya masing-masing tadi, kiai/ guru tinggal menjadi perumus jawaban,Supaya pemahaman santri tetap dijalan yang benar.
Analoginya, ketika kiai hanya membacakan kitab, itu sama persis kiai menyediakan bahan mentah, selanjutnya terserah santri mau mengolahnya jadi apa, dan tentu olahan setiap santri berbeda.
Begitupula ngaji bandongan, kiai memberikan bahan mentah pemikiran kepada santri, tergantung santrinya mau mematangkan lagi apa enggak, nah untuk mematangkannya tadi dibuatlah sistem Muasywarah.
Intinya, bandongan ini menuntut santri mikir, bayangin kalau kiai menjelaskan semua dengan gamblang seperti pemceramah atau kayak konten-konten tiktok gitu, ya terlalu memanjakan santri dong, dia malas mikir, tidak mau menganalisis sendiri.
Tapi kalau dikasih pemikiran mentah atau setengah mateng mau tidak mau santri musti meraciknya sendiri, nah biar tidak salah pemikiran kiai/ guru tetap memvalidasinya.
Metode Bandongan ini juga diakui keampuhannya oleh Yai Mahrus, diceritakan oleh Yai Chalwani Berjan, Yai Mahrus mengaku kalau ngaji mantiq yang membacakan Yai Dalhar itu cepat paham dan mudah dimengerti, padahal Yai Dalhar hanya membacakan. Yai Dalhar juga mengakui, “Baru ini, saya punya santri yang diajar mantek dan lainnya cepat paham.”
Untuk Bandongan ini, Yai Mahrus juga memerintahkan kepada santri, kalau selesai ngaji itu dipelajari lagi berkali-kali lagi supaya faham. Tidak seperti kita yang yaaa selesai ngaji udah taruh kitabnya. Heu.
Nah, begitulah ngaji bandongan di Pesantren, terlihat membosankan tapi mencerdaskan.
Secara continue melahirkan nalar santri yang kritis dan taktis. Kemudian menjadikan santri Lirboyo suka ber-Bahtsu Sampai saat ini.
Tentang Penulis
Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Pronojiwo Lumajang Jawa Timur | Pengasuh Majelis Sholawat Al Hidayah