FLA⚡H NEWS
✨ Bergabunglah di Majelis Kanzul Mubtadi-ien! Kajian eksklusif, sholawat bersama, & silaturahmi dengan pecinta sholawat dari berbagai daerah 🙏🏻😊

Ilmu Ekonomi Santri: Teladan Mbah Yai Mahrus Ali Lirboyo

KH. Mahrus Ali Lirboyo, Ekonomi Santri
Teladan Mbah Yai Mahrus Ali Lirboyo Tentang Rezeki yang Berkah dan Mandiri
banner 120x600

Menjadi santri bukan berarti memunggungi dunia. Di tengah lantunan kitab kuning, hafalan nadzom Alfiyah Ibnu Malik, santri justru sedang menempa dirinya menjadi pribadi tangguh: kuat dalam ilmu, kokoh dalam akhlak, dan mandiri dalam hidup.

Namun, tak sedikit yang masih bertanya: Bagaimana mungkin seorang santri bisa berdikari secara ekonomi, tanpa kehilangan jati dirinya? Bagaimana bisa mencari rezeki tanpa melepas baju keikhlasan dan kesederhanaannya?

Dari Lirboyo, Kediri, kita belajar dari teladan agung: KH. Mahrus Ali. Sosok yang dikenal dengan kewirausahaannya, sekaligus kealimannya. Ngaji jalan, mulang santri jalan, khidmah NU terus bergulir, tapi tetap tekun bertani, beternak, bahkan membuka warung. Rezeki bukan sekadar angka, tapi sarana perjuangan.

Dan di sinilah beliau pernah dawuh penuh makna:

“Santri harus punya usaha mencari rezeki, agar bisa shodaqoh, membiayai perjuangan dakwah di tengah masyarakat, dan tidak thoma’.”

Profil Singkat Mbah Yai Mahrus Ali

Nama lengkap beliau adalah KH. Mahrus Ali bin Abdul Latif, seorang ulama besar yang menjadi bagian penting dalam sejarah Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Beliau dikenal sebagai sosok karismatik yang disegani, tidak hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena keikhlasan dan keteguhan hatinya dalam mengasuh umat.

Bersama KH. Marzuqi Dahlan, beliau menjadi tonggak utama yang membesarkan Lirboyo hingga menjadi pesantren besar yang mencetak ribuan ulama dan tokoh umat di berbagai penjuru negeri.

Tak hanya dikenal di kalangan pesantren, kiprah Mbah Yai Mahrus juga melebar ke jagat Nahdlatul Ulama (NU). Beliau aktif dalam berbagai kegiatan jam’iyyah, memberikan warna tersendiri dalam perjuangan keummatan.

Namun yang menarik, di tengah kesibukan beliau ngaji, mulang santri, hingga khidmah di NU, Mbah Yai Mahrus tetap turut serta dalam berbagai usaha ekonomi. Beliau memiliki warung, usaha ternak, bahkan lahan tebu berhektar-hektar. Tapi bukan semata-mata demi harta. Melainkan sebagai bentuk kemandirian, keberpihakan pada masyarakat, dan kesiapan menopang dakwah dengan kekuatan finansial sendiri.

Beliau tidak pernah memisahkan antara agama dan ekonomi. Justru keduanya dijalani seiring sejalan. Ngaji adalah ibadah, usaha pun bagian dari ibadah: selama diniatkan untuk mencari yang halal, membantu sesama, dan memperkuat perjuangan.

Dawuh-Dawuh Penting Tentang Rezeki

Dalam banyak kesempatan, Mbah Yai Mahrus Ali sering menyampaikan pesan-pesan sederhana, tapi penuh hikmah. Terutama soal bagaimana seorang santri memandang dan menjalani proses mencari rezeki.

Salah satu dawuh beliau yang sangat terkenal adalah:

“Santri itu kalau usaha jangan pakai okol (tenaga kasar), tapi pakai akal. Akalnya yang bekerja.”

Kalimat ini seakan menegaskan bahwa santri bukan hanya pekerja keras, tapi juga pemikir cerdas.

Usaha yang dilakukan seorang santri mestinya lahir dari strategi, ide, dan nilai-nilai keislaman, bukan semata tenaga otot.

Entah itu berdagang, beternak, berkebun, atau bahkan menjadi digital marketer, semuanya bisa jadi ladang amal jika disertai niat dan cara yang baik.

Tak berhenti di situ, beliau juga menekankan pentingnya perencanaan ekonomi yang matang, bahkan jauh sebelum teori-teori keuangan modern ramai dibahas:

“Agar ekonomi keluarga stabil, santri sebaiknya punya tiga sumber penghasilan: harian, bulanan, dan tahunan.”

Penghasilan harian, untuk kebutuhan sehari-hari, seperti jualan kecil, jasa, atau usaha yang cepat berputar.

Penghasilan bulanan, untuk kebutuhan agak besar seperti kontrakan, gaji ngajar, atau hasil kerjasama.

Penghasilan tahunan, sebagai simpanan jangka panjang atau modal pengembangan, seperti hasil panen, investasi ternak, atau usaha musiman.

Dari dawuh ini terlihat jelas bahwa kemandirian ekonomi bukan bertentangan dengan kesan santri, justru menjadi bagian dari karakter sejati seorang santri: mandiri, dermawan, dan siap berdakwah tanpa bergantung.

Yang lebih penting lagi, beliau sering mewanti-wanti agar rezeki itu tidak jadi tujuan utama, tapi sarana:

“Santri harus punya usaha mencari rezeki, agar bisa shodaqoh, membiayai perjuangan dakwah di tengah masyarakat… dan tidak thoma’.”

Dengan kata lain, rezeki dicari bukan untuk ditimbun, tapi untuk ditebarkan. Agar perjuangan tidak berhenti karena urusan dapur, dan dakwah tidak terhambat oleh keterbatasan materi.

Fikih Muamalah: Landasan Mencari Rezeki

Dalam Islam, mencari rezeki bukanlah hal yang dipisahkan dari ibadah. Justru usaha yang halal dan dilakukan dengan niat yang baik: untuk menafkahi keluarga, membantu sesama, hingga mendukung dakwah, termasuk bagian dari amal shalih.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Wa an laisa lil-insaani illa maa sa’aa.”

“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Ayat ini menjadi dasar penting dalam fikih muamalah, bahwa manusia diperintahkan untuk berusaha, bukan hanya menunggu. Rezeki memang di tangan Allah, tapi usaha adalah bentuk ketaatan dan tanggung jawab sebagai hamba-Nya.

Rasulullah SAW pun bersabda:

“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabi Daud ‘alaihissalam pun makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)

Dari sini, jelas bahwa bekerja dan berwirausaha adalah jalan para nabi.

Maka seorang santri, ketika bekerja dengan jujur dan amanah, bukan sedang menurunkan derajatnya, melainkan sedang mengikuti jejak para nabi dan memperluas ladang amalnya.

Maka dalam fikih muamalah, segala bentuk usaha yang halal, baik berdagang, bertani, beternak, menjadi guru, atau bisnis digital sekalipun, adalah sarana ibadah, jika diniatkan untuk mencari keberkahan, bukan semata keuntungan.

Tiga Jenis Sumber Penghasilan ala Mbah Yai Mahrus Ali Lirboyo

Mbah Yai Mahrus Ali punya pandangan visioner tentang kemandirian ekonomi santri. Menurut beliau, agar kondisi finansial tetap stabil dan tidak selalu bergantung pada bantuan orang lain, santri sebaiknya punya tiga jenis sumber penghasilan.

Berikut penjabarannya:

1. Penghasilan Harian: Kebutuhan Sehari-hari

Contoh: Warung kecil, jualan jajanan, jual pulsa, jasa fotokopi, jualan online barang kebutuhan santri.

Penghasilan ini berguna untuk menutup kebutuhan harian seperti makan, kebutuhan kamar, transport, atau sekadar uang jajan. Usaha harian tidak perlu modal besar, yang penting berputar dan konsisten.

Tips Aplikatif:

Santri bisa mulai dari hal kecil: titip jajanan di koperasi pesantren, jualan online lewat WhatsApp, atau buka jasa tulis makalah, jurnal dan presentasi bahkan skripsi.

Gunakan waktu luang sore atau malam (yang tidak bentrok ngaji) untuk mengelola usaha kecil.

Jangan gengsi memulai dari yang sederhana – barokah itu bukan soal besar kecilnya, tapi dari niat dan manfaatnya.

2. Penghasilan Bulanan: Untuk Kebutuhan Rutin

Contoh: Gaji mengajar di TPQ atau madrasah, hasil ternak kecil-kecilan (ayam, lele), sewa kos atau kontrakan.

Jenis penghasilan ini cocok untuk kebutuhan bulanan seperti iuran kuliah, membayar cicilan, membantu orang tua, atau sedekah rutin.

Tips Aplikatif:

Jika santri punya waktu luang dan cukup ilmu, bisa mulai mengajar les ngaji, privat baca kitab, les baca dan hitung untuk anak usia dini.

Bisa juga mengelola ternak kecil dengan sistem patungan (misalnya 3 santri urunan beli 10 ayam, nanti hasilnya dibagi).

Bangun relasi ke alumni atau warga sekitar untuk membuka peluang mengajar atau kerja sambilan.

3. Penghasilan Tahunan: Modal & Kebutuhan Besar

Contoh: Hasil panen, kebun tebu, proyek musiman – seperti: jualan kurma saat Ramadhan, kue saat lebaran, merchandise haul atau harlah.

Penghasilan ini sifatnya jangka panjang dan biasanya digunakan untuk keperluan besar: modal usaha baru, biaya nikah, atau biaya pendidikan lanjutan.

Tips Aplikatif:

Santri bisa ikut proyek musiman, seperti buka pre-order parcel Ramadhan, jualan baju lebaran, atau buka usaha dadakan saat event besar di pesantren.

Manfaatkan media sosial untuk promosi sederhana. Santri bisa belajar desain sederhana lewat HP dan mulai branding usaha kecilnya.

Libatkan teman satu kamar atau satu halaqah untuk kerja bareng, jadi lebih ringan dan saling support.

Dengan pola ini, santri akan lebih stabil secara ekonomi.

Bukan berarti sibuk duniawi, tapi agar bisa lebih merdeka dalam berkhidmah. Seperti dawuh Mbah Yai Mahrus Ali Lirboyo:

“Santri itu harus mandiri, agar bisa bantu perjuangan, bukan malah nambahin beban.”

Tips Aplikatif: Biar Nggak Kehabisan Ide dan Nyerah dalam Berusaha

Kadang bukan kurang modal, tapi kurang semangat dan inspirasi yang bikin usaha mandek. Supaya santri tetap istiqamah dan nggak gampang menyerah, berikut beberapa tips sederhana:

1. Niatkan untuk Ibadah & Khidmah

Jangan cuma mikir untung, tapi niatkan setiap usaha sebagai bagian dari ibadah. Kalau niatnya kuat, semangatnya pun tahan lama.

2. Catat Ide Usaha Sekecil Apa pun

Gunakan buku kecil atau aplikasi catatan di HP buat nyimpen ide-ide spontan. Kadang ide muncul dari obrolan di kamar, dari keluhan teman, atau dari kejadian harian di pesantren.

3. Bangun Circle Teman yang Supportif

Cari teman satu visi buat diajak bareng usaha. Selain bisa bagi tugas, juga bisa saling menyemangati saat salah satu mulai lelah.

4. Konsultasi ke Guru, Alumni, atau yang Lebih Berpengalaman

Jangan malu bertanya atau minta saran. Banyak alumni pesantren yang sukses dan pasti mau berbagi pengalaman, asal kita punya adab dan semangat belajar.

5. Belajar dari Kegagalan Kecil

Gagal itu biasa. Yang luar biasa adalah santri yang tetap tawadhu, bangkit, dan belajar dari kegagalan. Jangan keburu nyerah cuma karena rugi Rp10.000 – namanya juga proses.

6. Jangan Lupakan Doa & Sholawat

Usaha tanpa doa itu kayak perahu tanpa arah. Santri punya kekuatan spiritual – manfaatkan itu. Doa dan sholawat bisa membuka pintu-pintu rezeki yang tak terduga.

“Kalau santri niat usahanya lillah, semangatnya karena cinta ilmu, dan geraknya penuh adab, insyaAllah Allah akan mudahkan jalannya.”

Nah, dengan bekal ini, insyaAllah santri bisa terus semangat, kreatif, dan istiqamah dalam menghidupkan ekonomi yang barokah.

Rezeki Santri, Berkah Dunia Akhirat

Menjadi santri bukanlah penghalang untuk sukses di dunia – justru itu adalah jalan istimewa menuju keberkahan di dua alam. Dengan ilmu yang dipelajari, adab yang dijaga, dan niat yang lurus, santri punya bekal luar biasa untuk menjemput rezeki yang halal lagi berkah.

Mbah Yai Mahrus Ali Lirboyo telah memberi teladan bahwa ngaji bisa jalan, dakwah tetap hidup, dan ekonomi pun tumbuh. Usaha bukan hanya soal uang, tapi juga sarana memperluas manfaat, menegakkan kemandirian, dan memperkuat perjuangan umat.

Maka jangan ragu memulai.
Walau dari usaha kecil, niatkanlah sebesar langit.

Walau dari satu barang dagangan, percayalah bisa membuka banyak pintu kebaikan.

“Santri hari ini bukan hanya agen dakwah, tapi juga agen perubahan—yang menebar ilmu, akhlak, dan kemandirian ekonomi dari bilik pesantren hingga penjuru negeri.”

Mulailah hari ini. Semoga hari ini menjadi awal yang baik untuk mencapai tujuan dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan niat yang tulus, langkah yang konsisten, dan usaha yang sungguh-sungguh, insyaAllah rezeki dan kesuksesan akan datang dengan cara yang tak disangka.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WA
1